Rabu, 05 Maret 2014

Kekasih Adikku (Part 2)

makalahtentang.com Kudengar suara bisik dering ponsel. Kuraih ponsel yang semalam kuletakkan di meja samping tempat tidur. Pada layar ponsel tertera nama Vira.
“Halo Vir. Ada apa pagi-pagi gini, elo nelpon gue?” tanpa beranjak dari kasur empuk bahkan tetap memejamkan mata, aku mengangkat telepon.
“Apa elo bilang?! Pagi?!” suara cempreng nan keras terdengar seperti loudspeaker di tengah kantukku. “Ya ampun non, sekarang udah jam berapa? Elo lupa apa kalau hari ini kita ada ulangan Pak Purwa! Dosen tergalak di kampus!” Suaranya terus menggema di seberang.
“Itu kan nanti jam sebe… Aaaargggh…!” jerit histerisku begitu melihat jam beker di atas meja yang menunjukkan jam setengah sebelas.
http://www.makalahtentang.com/

“Gimana non? Sudah sadar sekarang? Sudah sana mandi dan siap-siap ke kampus. Kalau tak mau tahun depan ngulang lagi.”
Begitu telepon ditutup aku langsung menarik tubuhku ke posisi duduk. Rasa kaget karena kesiangan belum hilang, kini ditambah shock baru. Aku menatap heran pada kamar yang kutempati. Ini bukan kamarku. Sepenggal memori mulai tersusun rapi di kepalaku. Tiba-tiba aku menjerit.
“Ya ampun! Jadi semalam aku tidur di sini?! Bersama Juno?!” begitu mengucapkan nama Juno, yang empunya nama langsung nongol dari kamar mandi.
“Oh kau sudah bangun.” Terdengar nada datar di mulut Juno. Tak ada ekspresi apapun yang terlintas di wajahnya.
Seketika aku menarik selimut untuk menutupi tubuhku dan mengintip apakah pakaianku masih lengkap atau tidak. Terdengar desah lega saat aku tahu pakaianku masih lengkap, dan aku tidak merasakan perubahan apapun pada diriku.
“Tenang saja. Semalam kau tidak aku apa-apakan. Semalam aku tidur di sofa kok. Sebaiknya kau mandi. Kudengar hari ini kau ada ulangan? Dan kau tak ingin terlambat, kan?”
Aku langsung bangkit dan berlari menuju kamar mandi. Sepuluh menit kemudian aku keluar dengan wajah yang lebih fresh, daripada wajah kusut sehabis bangun tidur tadi.
“Ini.” Juno melemparkan blus biru dan rok berbunga tulip padaku. “Pakai itu. Setelah itu kuantar kau ke kampus. Aku tunggu di lobi.” Setelah menyelesaikan kalimatnya yang terakhir, Juno pergi keluar dan menutup pintu.
Aku terbengong sesaat.
Benarkah dia Juno kekasih Azka? Benarkah dia Juno yang cuek? Benarkah dia Juno yang diam-diam aku cintai? Kalau dia benar Juno, tapi kenapa sikapnya lain dari biasanya? Dia terlihat lebih perhatian sekarang. Ya ampun Zhil, mikir apaan sih kamu? Dia itu kan cowok adikmu sendiri.
Aku bergegas ke kamar mandi untuk mengganti pakaian yang lebih pantas ke kampus daripada gaun putih yang terlihat lebih santai. Selesai berganti baju, aku bergegas menemui Juno yang tengah menunggu di lobi. Begitu melihatku datang, ia tersenyum manis padaku. Saat melihat senyuman lelaki itu, aku merasa ada angin besar yang berhembus ke arahku. Membuat goyah tubuhku yang hampir tumbang dan jantung berdetak tak keruan.
Di dalam mobil kami tak banyak bicara. Sekeluar dari hotel tadi, Juno kembali pada Juno yang cuek. Aku jadi risih melihat sikapnya yang cuek itu. Dan aku merindukan sikap ramah dan hangat sewaktu di hotel tadi.
“Aku ingin tahu apa yang akan kau katakan pada Azka jika dia tahu kejadian ini.” Aku membuka percakapan. Dia tetap diam dan fokus pada setirnya.
“Aku tak ingin Azka berpikir yang tidak-tidak tentang aku. Apalagi aku ini kakaknya.” Lanjutku, dan lelaki itu masih tetap pada diamnya.
Aku mulai kehilangan kesabaranku. Aku memilih diam daripada ngomong dengan patung hidup. Selama lima belas menit kami seperti orang yang tak saling kenal. Kami saling diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Sesampainya di kampus, aku langsung turun dari mobil Juno dan melesat pergi begitu mengucapkan terima kasih.
Suara ramai dan riuh memenuhi ruang tamu. Acara pertunangan Azka dan Juno ternyata sudah disiapkan matang oleh mama dan papa. Buktinya, dekorasi ruangan terlihat mewah dan banyak tamu yang diundang. Aku merasa kecut untuk turun ke bawah. Setengah jam lagi pertunangan akan dimulai. Dan aku hanya bermalas-malasan di dalam kamar. Sudah sejak siang tadi aku mengurung diri dan tiduran di atas kasur, tanpa berniat untuk beranjak ke bawah. Sesekali bik Ijah mengetuk pintu dan membawakan jus untukku. Katanya mama yang nyuruh. Baik bener mama, biasanya cuma inget sama Azka.
Kali ini terdengar ketukan pintu. Paling-paling bik Ijah yang membawakkan makanan. Aku tak beranjak dari tidurku Aku tetap memejamkan kedua mataku yang terserang kantuk.
Tok! Tok! Tok!
Terdengar ketukan pintu lagi.
“Masuk Bik. Pintunya nggak dikunci kok.” Seruku masih terpejam.
Terdengar suara pintu dibuka.
“Taruh saja di meja, Bik.” Seruku masih terpejam dan tak menoleh pada bik Ijah.
Tak terdengar suara. Mungkin bik Ijah sudah keluar. Tapi, detik berikutnya, pernyataan itu disanggah dengan belaian lembut di kepalaku. Spontan aku membuka dua kelopak mataku dan menarik tubuhku ke posisi duduk. Aku tertegun menatap Juno tengah duduk di tepi ranjang sembari menatapku.
“Juno.” Kata pertama yang keluar dari mulutku. “Sedang apa kau di sini?”
“Apa kau akan terus bermalas-malasan di sini? Sementara para tamu sudah berdatangan.” Suara lembut Juno, bagai cahaya yang menyinari kegelapan di kamarku.
Aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasur. Memeluk bantal guling dan membelakangi Juno.
“Untuk apa aku turun? Lagipula tak ada yang peduli padaku.” Nadaku terdengar ketus.
“Apa kau tega membiarkan adikmu sedih karena ketidakhadiranmu?”
“Biarkan aku di sini. Lagipula tidak ada yang peduli padaku. Hari ini, semua orang hanya akan melihat Azka.”
“Kau salah, Zhil. Ada yang peduli padamu. Dan hari ini justru kau yang akan menjadi pusat perhatian semua orang…”
“Pusat perhatian orang karena memalukan!”
“Zhila! Bangun!” Juno mulai kesal melihat sikap dan suara ketusku.
Namun ia tak menyadari, setetes air mata telah mengalir, membasahi luka yang tak terobati. “Bodoh! Ayo bangun!” bentaknya dengan menarik lenganku hingga tubuhku ke posisi duduk. Ia langsung tertegun, begitu menatap mataku yang telah basah oleh air mata.
Tangannya terjulur ke pipiku dan menghapus air mata yang terlanjur mengalir tanpa bisa ku cegah. Mulutku terkatup lama. Mata kami saling beradu. Kurasakan desiran halus merayap ke tubuhku. Seolah kami berbicara lewat bahasa kalbu.
Air mataku terus mengalir, bahkan semakin deras.
Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi dengan perasaanku. Kupeluk tubuh Juno. Tak ada reaksi dari lelaki itu. Ia membiarkan aku menangis dalam pelukannya. Tangannya membelai lembut kepalaku.
“Kenapa kau begitu jahat padaku?” lirihku di tengah isakku. “Apa kau tahu, betapa sakitnya aku menahan rasa yang begitu menyiksaku?” semakin erat aku memelukknya. Tak ingin sekalipun terlepas dari pelukannya. “Jujur, aku sangat mencintaimu.” Sempat terbesit rasa sesal di hatiku, karena telah mengatakan kata-kata itu. Dan masih tak ada respon dari Juno. “Dan aku tak ingin kau bertunangan dengan Azka.” Aku terpana ketika Juno mendorong tubuhku dan menatapku lekat.
“Apa kau bilang? Bertunangan dengan Azka? Aku?” tanyanya dengan nada ditekankan.
Aku menatapnya lekat, tak menjawab pertanyaannya. “Ha… ha… ha…” terdengar suara tawa Juno yang ringan, menggema di udara.
“Kenapa kau tertawa?” sungutku.
“Ya ampun, Zhil. Kau ini…” Juno menghentikan kata-katanya. Ia tak menyelesaikan kalimatnya, karena tak kuat menahan tawanya hingga matanya berair. “Kau ini nggak tahu, apa bodoh sih?” Tangan kekarnya mengacak rambutku.
“Apa maksudmu aku bodoh.” Aku menggeram dengan melototkan mataku dan berkacak pinggang.
“Dengar ya, Zhila yang BODOH, memang benar Azka akan bertunangan. Tapi itu dengan Yoga. Bukan denganku.”
Juno tertawa keras begitu melihat ekspresi wajahku dengan pipi yang memerah.
“Jadi Azka akan bertunangan dengan Yoga? Berarti Azka menghianatimu?”
“Siapa bilang dia menghianatiku?”
“Lho bukannya selama ini kau dan Azka berpacaran? Dan sekarang Azka bertunangan dengan Yoga! Berarti mereka berdua telah menghianatimu.”
Tangan Juno kembali mengacak rambutku dan tertawa lebih keras dari sebelumnya.
“Bodoh! Bodoh! Siapa yang bilang kalau aku dan Azka berpacaran? Dia memintaku untuk membantunya mendekati Yoga. Dan aku meminta bantuannya untuk mendapatkan… kakaknya.”
Aku melongo kaget, mendengar kata-kata Juno.
Juno mendekatkan wajahnya pada wajahku. Detik berikutnya, kurasakan bibir hangat dan lembut mengecup keningku.
“Yah, kau yang aku cintai. Bukan adikmu.” Ucap Juno yang langsung membuat tubuhku lemas. Juno meraih tubuhku ke dalam dadanya.
“Jadi kau tidak mencintai adikku?” tanyaku menggoda.
“Tidak.” Sahutnya sembari menggeleng.
“Dan kau tidak berpacaran dengan adikku?”
“Juga, tidak.” Juno kembali menggeleng.
Aku memeluk dada bidang Juno dengan erat.
“Jadi, sekarang kau mandi dan kita turun. Kau tak ingin terlambat menyaksikan pertunangan adikmu dan juga… tak ingn ketinggalan untuk menyusul bertunangan. Papa dan mamamu sudah menunggu kita.”
“Apa…” sebelum aku selesai protes, Juno membopong tubuhku dan membawaku ke kamar mandi.
“Mandi yang bersih dan dandan yang cantik.” Serunya sambil menutup pintu kamar mandi.”
Selesai mandi, aku langsung dirias oleh penata make-up. Aku memilih mengenakan gaun berwarna putih, warna favoritku. Setelah di make-up over, aku langsung turun ke bawah.
Kurasakan bahagia. Ternyata perasaan cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Karena Juno juga mencintaiku. Selama ini ia tahu kalau aku mencintainya. Tapi aku kesal padanya, karena dia sengaja bermesraan dengan Azka untuk membuatku cemburu. Dan semua yang dilakukannya sudah cukup membuatku cemburu, bahkan hampir membunuh perasaan cinta yang bercokol di hatiku.
~ The end ~
Cerpen Karangan: Mia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar