Selasa, 04 Maret 2014

Cinta di Ujung Senja

makalahtentang.com Ia selalu usil dan menggangguku. Membuatku kesal saja. Huft! Tapi kenapa setiap kali ia tak datang ke sekolah, aku merasa ada yang kurang. Anak yang nakal, tapi kenapa bikin kangen? Dan sikapnya yang acuh memberikan pesona yang bikin jantung deg-degan.
Eits! Mikirin apaan sih kamu! Dia kan musuh terbesar kamu! Aku menggeleng sembari menatap sekilas ke arah Nunu yang tengah duduk di meja depan sambil jari-jarinya memainkan senar gitar dan menghasilkan bunyi yang sangat merdu. Sekilas mata kami bertemu dan ia tersenyum, cepat-cepat kualihkan pandanganku ke arah lain dan cepat-cepat menguasai hatiku sebelum jatuh dalam lubang yang tak mungkin bisa aku keluar dari dalamnya.
http://www.makalahtentang.com/

Aku bangkit dari tempat dudukku dan keluar dari kelas dan pergi ke ruang OSIS. Aku lewat di depannya. Ingin sekali aku lihat wajahnya dan menyapanya, tapi entah mengapa pikiranku berkata untuk tidak menoleh padanya. Maka kubiarkan hatiku menangis karena tak bisa memandangnya dari dekat.
Aku mendesah pelan. Seolah ada sesuatu yang mencekat di dalam kerongkonganku. Seperti ada godam berat yang menjatuhi kepalaku, rasanya sakit sekali dan membuatku hampir terhuyung dan jatuh pingsan. Tapi, tiba-tiba tubuhku menegang, begitu kurasakan sebuah tangan menahan lengan kananku. Spontan aku berbalik dan menatap tajam pada sosok yang tersenyum jail, namun matanya selalu terlihat teduh dan membuat hatiku berdebar-debar hebat.
“Ada apa?!” tanyaku ketus.
“Nggak. Cuma mau bilang, tolong beliin minuman di kantin.” jawabnya enteng dan tentunya dengan senyum usilnya.
“Emang gue pembantu elo apa?” kataku masih dengan suara ketus.
“Iya. Elo emang kacung gue.” sahutnya tenang.
“Sejak kapan gue jadi kacung elo? daftar aja gue nggak ngerasa tuh!” kataku masih ketus dan cuek bebek.
“Sejak detik ini.”
“Emangnya siapa elo, berani-beraninya nyuruh gue dan ngaku-ngaku gue kacung elo?!”
Ini benar-benar keterlaluan. Aku tak dapat lagi menahan emosiku. Kalaupun kami berkelahi dan dipanggil BP aku tak merasa apa, karena dia duluan yang menyulut emosiku. Tiap harinya seperti tak ada hari yang damai tanpa pertengkaran kami. Hingga anak-anak yang lain merasa bosan untuk melerai kami.
Tanpa kuduga tubuh Nunu mendekat. Bikin jantungku mau copot aja. Aku tahu ia tersenyum senang, karena sudah membuatku berdebar dan pipiku memerah. Namun ternyata ia membisikan sesuatu di telingaku.
“Karena gue adalah hujan dalam hati elo. Dan elo nggak bisa membiarkan gue mati dalam hati elo. Jadi elo akan ngelakuin apa aja biar gue tetep hidup di hati elo. Dan elo jadi deh kacung gue.“ Nunu menjauh dariku dan tersenyum jahil.
Aku pasti menunjukkan wajah yang bego, sampai-sampai. Nunu mentertawakanku. Langsung saja kupasang wajah galakku. Bukannya takut, Nunu malah tertawa terpingkal-pingkal sampai memegang perut dan matanya berair.
Kesal! Tentu saja aku SANGAT KESALLL!!! Dengan perasaan dongkol, aku langsung ngeloyor meninggalkan Nunu yang masih tertawa terpingkal.
“Hey! Mau ke mana? Gitu aja ngambek!” serunya dari belakangku. Namun aku tak memperdulikannya. Aku tetap berjalan meninggalkan satu manusia menyebalkan itu dengan sejuta kedongkolan.
Hujan turun dengan derasnya, mengiringi hatiku yang terluka. Kuangkat tangan kiriku dan menengadah ke atas. Membiarkan tetes-tetes hujan menjatuhi telapak tanganku dan mengalir dari setiap lekuk jari-jariku sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Aku menatap sendu pada hujan yang terlihat seperti jarum berjatuhan dari langit. Hatiku sesak, seolah udara tak mengijinkanku untuk menghirupnya dan membiarkan paru-paruku melonggar sedikit saja.
Tubuhku terkejut saat sebuah tangan menyentuh tanganku yang kubiarkan basah oleh hujan. Ternyata aku melamun hingga tak menyadari seseorang datang mendekatiku. Aku menoleh dengan enggan dan menatap wajah yang tersenyum dengan mata yang teduh yang ingin selalu kulihat.
“Melamun lagi.” ucapnya dengan nada suara yang kudengar berbeda di telingaku dari suara-suara yang biasanya ketus dan jahil itu. Wajahnya menatap ke depan, menatap jari-jariku yang basah kuyup dan hampir membiru karena kedinginan.
“Mau apa elo?!” kata ketus dan marah keluar dari mulutku. Aku sendiri hampir tak percaya dengan apa yang kuucapkan. Detik kemudian aku melihat Nunu menoleh dengan cepat dan menatap dengan sorotan mata yang tak kumengerti. Sekilas aku merasa hatiku sakit saat menatap sorot mata itu.
“Kenapa kamu marah?” tanyanya masih dengan nada suara yang tak seperti biasanya.
Aku merasa dia aneh, kenapa ia tidak memanggilku dengan sebutan elo, tapi dengan kata kamu.
“Tentu saja aku marah, kau selalu saja mengusiliku. Dan sekarang kau pun pasti akan mengerjaiku. Apa kamu nggak pernah puas buat aku kesal? Apa sebenarnya yang kamu inginkan?” teriakku di tengah suara hujan.
Aku terdiam dalam ketegangan saat tiba-tiba Nunu berbalik dan langsung menarik tubuhku dan memelukku. Aku merasakan nafasku memburu akibat emosi yang sedari tadi kutahan, serta rasa kaget yang menyatu dalam kebingungan. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang berdetak cepat di dadaku, serta nafasnya yang sama-sama memburu menahan emosi.
Aku meronta mencoba melepaskan diri dari pelukannya. Aku tak mau orang lain melihat kami berpelukan di tempat sepi. Nanti apa kata mereka tentang kami. Anak SMA yang mesum. Tapi Nunu tak mau melonggarkan pelukannya, ia justru semakin erat memelukku hampir membuatku mati kekurangan udara.
“Lepaskan aku!” pekikku.
Tak ada jawaban, hanya terdengar suara rintikan hujan yang mengguyur deras di sebelah kami. Tak ada tanda-tanda Nunu untuk melepaskan pelukannya.
“Nunu, kumohon lepaskan aku. Kau membuatku sulit bernafas.” kataku terbata-bata dengan mata dipicingkan. Tapi Nunu tak juga melepaskan pelukannya dariku.
“Jangan mencoba untuk menjauh dariku.” katanya sambil mengunci gerakanku.
“NUNU!” teriakku dan mendorongnya dengan kuat.
Nunu melepaskan pelukannya dan alisnya berkernyit. Ada rasa kaget di wajahnya.
Aku terbatuk-batuk dengan mata berair.
“Kau gila. Kau hampir saja membunuhku!” seruku masih dengan sensasi menyakitkan dalam paru-paruku.
“Ya, aku memang gila. Dan itu karena kau.”
Aku menegakkan kepalaku dan menatapnya bingung. Dan melupakan sensasi sakit di paru-paru.
“Kau tahu, aku sudah gila karena kau. Karena kau telah mencuri hatiku dan tanpa ampun kau membiarkan hatiku berkembang di hatimu.” Nunu menatapku dengan wajah tersenyum dan sesekali melirik ke arah hujan.
“Hati-hati dengan ucapanmu. Kalau Mira dengar, aku bisa dihajar tau!” ketusku sambil berwaspada. Jauh dalam hatiku aku merasa senang, tapi sisi lain hatiku mengatakan aku tak boleh bergembira karena dia bukan milikku, tapi milik Mira.
“Mira?” tanyanya bingung.
“Ya. Aku tahu kalian pacaran.”
“Pacaran?” kedua alisnya terangkat, menandakan ia bingung. “Apa maksudmu?”
“Sudahlah jangan pura-pura. Aku tahu sekarang kau cuma ingin mengerjaiku.”
Nunu meremas bahuku dan membawa pandanganku kepadanya, “Senja…”
Aku menarik tubuhku dengan paksa dan mundur ke belakang untuk meghindarinya.
“Sudahlah, jangan lagi kau buat aku sedih. Karena aku tak bisa untuk menangis lagi saat ini. Aku terlalu lelah untuk menangisi perasaanku padamu.” Dan kristal-kristal bening mengalir deras di pipiku. Hal yang paling kubenci saat ini, kenapa aku tak bisa menahan air mataku untuk kukeluarkan nanti setelah sampai di rumah.
“Senja, dengarkan dulu kata-kataku.” seru Nunu hampir tak sabar.
“Untuk apa aku harus mendengarkan semua omong kosongmu!”
“Senja! Aku akui, aku memang pernah suka dengan Mira dan berpacaran dengannya. Tapi itu dulu dan tidak untuk sekarang. Dia cuma masa laluku yang sudah berakhir. Sedangkan sekarang ada seseorang yang tengah berdiri di depanku dan dia adalah masa depanku yang menjadi awal dari segalanya.”
“Tapi aku tak mau…” kata-kataku terpotong begitu bibir Nunu menyapu bibirku dan memenjarakanku dalam kediaman.
Beberapa detik berlalu dan hanya terdengar suara tetes hujan yang belum reda. Nunu melepaskan ciumannya dari bibirku dan tersenyum menatapku yang sedikit shock akibat ciuman tadi. Sensasi ciuman masih terasa di bibirku.
“Sungguh ciuman yang berharga.” ucapnya pelan.
Mataku melotot memandangnya penuh hujaman, begitu tersadar dari rasa terkejutku.
“Kenapa kau mencuri ciuman pertamaku?!” tanyaku geram dan hampir memukulnya, tapi sebelum aku melakukannya, ia dengan sigap menggenggam kedua tanganku.
“Karena aku tak ingin orang lain yang mengambilnya darimu. Lagipula kau tak akan percaya pada hatiku jika aku tak melakukannya.” Senyumnya mengembang di bibirnya.
“NUNU! DASAR KAU!” jeritku sambil mencoba melepaskan tanganku dari tangannya.
“Sudah sebaiknya kau diam saja, kalau tak ingin aku cium lagi.”
“Heh!”
Nunu tersenyum kecil dan aku tahu apa maksud dari kata-katanya, karena terbukti di detik kemudian. Ia kembali menyapu bibirku dengan lembut. Dan kali ini aku bisa merasakan hatinya dan cintanya yang begitu besar padaku.
Tanpa kusadari, hari beranjak senja dengan cahaya jingga sang mentari, yang akan kembali ke peraduannya. Dengan diiringi deru hujan yang mulai mereda seiring kanvas hitam
penuh lukisan malam menggantikan kanvas terangnya siang. Cinta di ujung senja, cinta yang bisa kuraih di penghujung waktu sang mentari.
~ The end ~
Cerpen Karangan: Mia
Facebook: www.facebook.com/der.laven3


Tidak ada komentar:

Posting Komentar