Bukan aku tak tahu cinta itu telah berdua. Namun hati tak bisa mengelak bahwa aku mencintainya. Hatiku jatuh dalam pesona sosok lelaki yang rupawan dan cuek. Kalau aku boleh memilih, aku ingin lenyap seketika itu juga, saat kedua pasang mata kami beradu. Ada desiran halus merayap di hatiku. Namun aku tersadar, aku tak boleh mempunyai perasaan yang lebih dari sekedar teman. Karena kenyataannya, lelaki rupawan dan cuek itu adalah kekasih adikku sendiri. Aku tak ingin dicap sebagai cewek perebut cowok adik sendiri.
http://www.makalahtentang.com/
Hatiku pedih saat Juno, lelaki itu datang ke rumah dan menemui Azka. Mereka selalu tertawa bersama, bahkan bermesraan di ruang tamu ataupun di teras rumah. Dengan nanar, aku menatapnya sembari mengelus-elus dada untuk menguatkan hatiku. Tanpa terasa, mataku panas, hingga air mata merembes, lewat sudut-sudut mataku yang bulat besar.
“Andaikan aku yang bertemu dulu dengan dia, mungkin sekarang aku yang bercanda bersamanya. Tapi kenyataannya tidak.” Lirihku dalam hati.
Aku kembali masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Berharap aku juga bisa mengunci hatiku untuk lelaki itu.
—
Aku tengah menyelesaikan tulisanku saat Azka mengetuk pintu.
“Ya masuk saja. Tidak dikunci kok.” Seruku dari dalam kamar.
Detik kemudian kepala Azka nongol di ambang pintu.
“Lagi sibuk nggak, Mbak?”
Sebenarnya aku ingin menyelesaikan tulisanku saat ini juga. Dan mengirimnya ke majalah siang ini sebelum berangkat kuliah.
“Nggak. Kenapa?”
Azka masuk dengan langkah dan senyum cerianya. Pantatnya dihempaskannya pada kasur.
“Mbak, nanti malam aku sama Juno mau makan malam. Mbak ikut ya. Kan kalau aku sendirian pasti nggak diijinin sama mama.” Azka melihat keraguan di wajahku. “Tenang Mbak, Mbak nggak akan jadi kambing congek kok. Nanti Juno bawa teman kok. Cowok lagi.” Azka memperlihatkan wajah polosnya, membuatku tak tega untuk menolak permintaannya. Dengan enggan, aku mengangguk dan tersenyum.
Melihat ekspresi wajahku yang setuju, Azka langsung bersorak riang dan berlari keluar kamar sambil berteriak pada mama. “Ma! Mbak Zhila mau ikut makan malam…” suaranya lenyap di ruang keluarga. Kudengar tawa papa dan mama yang menyambut putri kesayangan mereka berjingkat bahagia.
Namun di sudut kamarku, tertera luka yang mendalam. Seraut wajah sedih tengah menatap nanar pada setangkai bunga lili putih, yang bertengger indah di dalam pot dekat jendela. Seberkas keraguan menelusup hatinya tentang makan malam nanti. Ia harus mencari Antibiotik dulu, untuk bertahan dari penyakit cinta yang menyakitkan.
—
Azka terus ribut dengan penampilannya. Tiap detik ia terus bertanya pada mama, entah soal rambutnya, riasannya, gaunnya, ataupun sepatunya. Padahal ia sudah sangat-sangat perfect. Apalagi untuk gadis seumurannya. Rambut hitam sebahu dibiarkan tergerai, dengan hiasan mutiara perak di atas poni hingga menyamping. Gaun merah muda selutut dengan lengan pendek dipadukan dengan sepatu high heels yang serupa. Membuat gadis enam belas tahun itu terlihat aura kecantikannya.
Aku duduk tenang di kursi. Sesekali aku terlihat resah. Bukan karena jemputan lama datangnya. Tapi karena sosok cowok itu. Apa yang harus aku perbuat untuk hati yang tak tahu diri ini, mencintai kekasih dari adikku sendiri.
Malam ini dibandingkan kecantikan Azka denganku, sangat jauh berbeda. Azka terlihat cantik dengan background merah muda yang menampakkan keceriannya. Sedangkan aku terkesan elegant dan santai dengan balutan gaun putih selutut yang dipadukkan dengan sweater cream kesayanganku. Rambutku pun hanya digelung sederhana menggunakan copstic berwarna putih dengan tangkai lili putih. Untuk sepatu, kupadukan senada dengan gaunku.
Setelah sepuluh menit menunggu, dari halaman terdengar deru mobil Juno. Ternyata benar, Juno tidak sendirian. Ia membawa temannya yang terlihat cute. Malam ini Juno terlihat ganteng dan dewasa dengan balutan kemeja putih panjang, yang ia gulung hingga pergelangan tangannya. Teman Juno yang bernama Yoga, juga terlihat cute dalam balutan kemeja biru bergaris.
Juno berpamitan pada papa dan mama. Azka dan aku pun berpamitan pada papa dan mama.
“Hati-hati Sayang.” Seru mama pada Azka. Yang sudah duduk di kursi penumpang. “Zhila, jaga adikmu.” Aku tersenyum dan masuk ke dalam mobil dan duduk di samping Azka. Juno duduk di belakang setir, dengan Yoga duduk di sebelahnya.
—
Juno memesan kursi untuk empat orang. Azka duduk di samping kanan Juno. Dan di sebelah kiri Juno ada Yoga. Sedangkan aku duduk di seberang meja Juno. Sungguh saat itu juga, aku merasa tak nyaman. Apalagi setiap kali melihat tatapan Juno penuh arti mengarah pada Azka. Atau perhatian kecil cowok itu pada adikku.
Semua memesan steak sapi, terkecuali aku. Aku meminta loabster laut. Padahal makanan yang kupesan adalah makanan kesukaanku. Tapi entah kenapa aku tak bisa menghabiskannya malam itu. Mungkin karena perasaan tidak nyamanku.
Aku tak banyak bicara. Aku lebih pasif daripada yang lainnya. Sering Yoga bertanya padaku dan kujawab singkat kata. Diam-diam aku melirik ke arah Juno dan Azka. Betapa bahagianya mereka. Sedikit perasaan bersalah menelusup ke dalam hatiku.
Tegakah aku menghancurkan tawa bahagia itu? Tegakah aku melihat wajah mendung Azka kalau aku merebut kekasihnya?
“Zhil, gue denger dari adik elo, katanya elo kuliah di jurusan jurnalistik ya? Hebat dong. Dari dulu gue pengin banget masuk dunia jurnalistik. Tapi sama nyokap gak diijinin. Katanya gak bikin sukses.” Kelakar Yoga dan aku menanggapinya dengan senyuman tanpa menyerobot ceritanya dengan berbagai pertanyaan tak penting. “Ngomong-ngomong elo diijinin ya, sama ortu elo?” Tanya Yoga yang melihatku diam saja.
“Sebenarnya Papa sama Mama gak setuju, mbak Zhila ambil jurnalistik.” Serobot Azka yang membuatku terkejut. “Papa-Mama, maunya mbak Zhila ambil broadcasting. Tapi mbak Zhila langsung gagal waktu tes masuk broadcasting. Jadi deh mba Zhila masuk jurnalistik dengan ijin terpaksa dari Papa-Mama.” Lanjut Azka tanpa rasa bersalah telah memalukanku di hadapan Yoga dan Juno.
Aku langsung bangkit selesai kalimat terakhir Azka.
Aku langsung bangkit selesai kalimat terakhir Azka.
“Mau kemana?” Tanya Yoga lembut.
“Tuh kan. Mbak Zhila emang suka gitu. Bentar-bentar ngambek. Makanya Mama gak sayang sama dia.” Seloroh Azka yang sudah kelewatan.
Ingin rasanya aku membekap mulut ember Azka dengan sepatu yang kukenakan. Cukup ia membuat aku malu dengan pernyataan pertama, tidak untuk pernyataan yang kedua. Dia benar-benar berhasil membuatku kehilangan muka. Lebh baik aku pergi dari tempat itu sekarang juga sebelum kulayangkan tamparan keras di mulutnya.
“Aku ingin ke toilet bentar.” Sahutku tenang. Aku langsung melesat pergi dari tempat itu, bahkan meninggalkan mereka di restoran itu. Aku tak peduli dengan mereka yang mungkin khawatir mencariku. Tapi yang kubutuhkan sekarang adalah ketenangan dan jauh-jauh dari Juno serta Azka.
Aku menelusuri jalan yang masih terlihat ramai walau malam sudah semakin larut. Kurasakan tungkai kakiku pegal. Kulihat sekeliling dan mataku berhenti pada pinggir air mancur. Kulangkahkan kakiku dengan terseok-seok menuju pinggir air mancur, dan duduk di sana. Kujulurkan kakiku agar tidak kaku, setelah kulepas sepatuku.
Kuhirup bau lembap rerumputan basah yang bercampur dengan angin malam yang menggigilkan kulit. Kupejamkan mataku sejenak untuk mengatur perasaanku yang galau. Meski aku pernah merasakan sakit, tapi rasa sakit ini tak sesakit seperti hari-hari sebelumnya.
Aku terkejut mendengar dering ponselku di dalam saku sweater creamku. Tertera nama “Juno” di layar. Tak kuangkat. Ada rasa sakit saat mengucapkan nama itu di hatiku. Dering ponsel berhenti. Kubuka ponsel dan terlihat lima belas panggilan tak terjawab, diantaranya Azka, Yoga, Juno dan Papa.
Duduk lama di tempat dingin seperti itu, lama-lama membuatku pusing. Aku bangkit dari duduk dan berniat untuk pergi dari tempat itu, sebelum seseorang memanggil namaku.
“Zhila!” pemilik suara itu sudah berada di depanku. Matanya terlihat khawatir. Penampilannya sedikit awutan. “Kemana saja kamu? Apa kamu baik-baik saja? Papa dan Mamamu mencarimu. Azka dan Yoga juga. Mereka semua khawatir padamu.” Ucapnya dengan nada riang.
“Aku baik-baik saja. Ngapain kamu ke sini?” nadaku ketus dan membuat Juno mengernyitkan alisnya.
“Tentu saja mencarimu dan mengembalikanmu pada keluargamu, BODOH!” Juno ikutan ketus mendengar ucapanku.
“Aku bukan anak kecil yang harus bilang dulu kalau mau pergi. Dan aku tak sebodoh yang kau ucapkan.” Aku berniat pergi sebelum tangan Juno menahan lenganku dengan kuat. “Lepaskan tanganku.” Teriakku.
“Diam saja, kalau tak ingin dikira macam-macam.” Bisik Juno di telingaku sambil menatap ke sekeliling diikuti pandanganku. “Sekarang kau ikut aku.” Juno melihat keraguan di mataku, “Tenang. Aku tidak akan membawamu pulang.” Lanjutnya.
Aku menurut saja mengikuti perintah Juno. Tangan Juno menggenggam erat tanganku dan menyeretku ke sebuah restoran. Juno menyuruhku duduk di kursi pojok, ia sendiri duduk di sebelahku. Ia memanggil pelayan dan memesan banyak makanan dan minuman. Beberapa menit kemudian, dua orang pelayan bolak-balik mengantarkan makanan dan minuman yang jumlahnya kurang lebih sepuluh macam. Setelah pesanan terakhir diantarkan, Juno mengucapkan terima kasih.
Aku ternganga menatap begitu banyak makanan tersaji di hadapanku, tanpa sadar aku berteriak, “Astaga! Apa kau akan makan semua ini, Juno?!” aku menatap Juno dengan tatapan tak percaya.
“Tentu saja. Mengapa tidak? Tapi kau juga harus ikut makan kalau tak ingin semua makanan ini sampai kuhabiskan semuanya.” Ucapnya dengan seringai senyum manisnya.
Dengan sekejap aku melupakan rasa sakit yang bercokol di dadaku. Dengan sekejap aku melupakan siapa sebenarnya Juno. Dengan sekejap aku melupakan perasaan Azka, adikku. Dengan sekejap aku melupakan papa dan mama yang cemas dan khawatir, karena aku tak kunjung pulang. Dengan sekejap aku melupakan semuanya.
Kurasakan begitu bahagia malam ini. Perasaan yang menyenangkan hadir setelah sekian lama menjauh dariku. Tawa yang kukira tak penah muncul lagi di sudut bibirku, kini tergores dengan indahnya.
Aku mengambil daging kerang dengan saus lada hitam yang menggugah lidahku, apalagi ditambah dengan lobster dengan saus mayones.
“Emmm… nyummi…!” lirihku. Aku makan hidangan itu dengan lahap. Tanpa kusadari, sepasang mata tengah memperhatikanku.
“Ternyata kau doyan makan juga, ya?” Tanya Juno sambil menyendokan kepiting ke dalam mulutnya.
“Baru tau ya, kamu. Gini-gini aku makannya banyak. Bahkan semua makanan di meja ini bisa kuhabiskan sendiri, tapi mengingat ada kau, jadi kubagi dua untukmu.” Ucapku dengan mulut penuh makanan. Juno tertawa melihat tingkahku.
Malam itu aku dan juno bergembira. Kami menghabiskan banyak makanan. Bahkan sampai kami sakit perut.
“Aduh perutku sakit nih.” Keluh Juno. Tangannya memegang perutnya sambil berjalan membungkuk.
“Aku juga nih.” Timpalku. “Sebaiknya kita cari toilet yuk, sebelum semua ampas makanan ini keluar.” Usulku kemudian.
“Ayo. Oh ya, di dekat sini ada hotel. Siapa tahu kita diperbolehkan untuk ke toilet.”
“Kalau begitu ke sana saja. Aku sudah tidak tahan nih.”
Akhirnya aku dan Juno pergi ke hotel terdekat. Sesampainya di sana kami tak diperbolehkan meminjam toilet. Kalau ingin ke toilet, kami harus memesan kamar, dan kami bisa pergi ke toilet di kamar tersebut. Itu yang dikatakan Juno setelah bertanya pada recepsionis. Sementara Juno bertanya, aku duduk menunggu di lobi hotel.
“Ah lega.” Seru Juno begitu keluar dari kamar mandi di salah satu kamar hotel sambil mengelus-elus perutnya.
Melihat Juno keluar dari kamar mandi, aku yang tengah duduk resah menunggu, langsung berlari menyongsong kamar mandi.
“Pelan-pelan saja. Kita punya banyak waktu kok.” Seru Juno dari luar.
Sepuluh menit kemudian aku keluar dari kamar mandi. Ternyata setelah ke belakang, membuat tenaga kita berkurang. Melihat kasur empuk, aku langsung berjalan menujunya dan merebahkan diriku di atas kasur empuk itu.
to be continued…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar