Selasa, 04 Maret 2014

Destiny

“Aku menunggu mu di lobby, sayang”. Aku tersenyum ketika membaca sebuah sms dari seseorang yang sangat aku cintai di sore itu.
Segera aku membereskan berkas-berkas yang berserakan di meja kantorku. Setelah selesai menyusun tumpukan kertas itu hingga rapi, aku bercermin untuk memastikan wajahku masih terlihat cantik dan segar. Tidak lama kemudian aku pun berlari keluar dari lorong kantorku menuju lift, yang akan membawaku turun untuk bertemu dengan pujaan hatiku tersayang.

“Reneeee…” sapa laki-laki berkulit putih dan memakai kacamata itu sambil melambaikan tangannya ke arahku.
Aku menghampiri Yudha sambil tersenyum manis.
“Huaahhh… Kamu bukannya lagi sibuk?” kok bisa ada disini dan menjemput aku, sayang?” tanyaku.
“Aku kangen sama kamu soalnya” jawabnya sambil tertawa.
“Aihhh… Gombal ahhh?” bisikku sambil merangkul lengannya.
Aku dan Yudha lalu bergandengan tangan, berjalan keluar dari gedung kantorku menuju tempat parkiran mobil. Aku bertanya-tanya dalam hati, hmmm.. ada angin apa, tiba-tiba Yudha datang menjemputku. Bukannya akhir-akhir ini dia sangat sibuk dengan pekerjaannya. Aku dan Yudha sudah berpacaran lima tahun lamanya. Yudha terkenal pria yang pekerja keras dan pintar. Pria yang super sibuk dengan segala aktivitas di kantornya. Walaupun begitu sibuk, yang sangat aku kagumi ia bisa menyisakan waktunya untukku di akhir pekan. Yudha sangat perhatian dan sayang padaku. Aku tidak menyesal berpacaran dengannya.
Yudha tersenyum padaku, sewaktu aku duduk di dalam mobilnya. Lalu ia mengeluarkan sehelai saputangan dari kantong celananya.
“Ehhh… Sayang, kamu mau ngapain” teriakku sambil tertawa ketika melihat wajahnya yang mulai jahil itu.
“Tutup mata kamu dulu yaa, Re” kata Yudha sambil mengikat saputangannya yang menutupi wajahku.
“Aduhhh… kita mau kemana sih, kok mata aku pake ditutup segala?” tanyaku sewaktu Yudha mengendarai mobilnya.
“Tenang!… sabar ya, sebentar lagi kita sampai kok” jelasnya yang membuat diri ini sangat penasaran.
Mobil itu entah akan membawaku kemana, aku tidak sanggup lagi menghitung belokan serta lampu merah yang kami lewati hingga saat ini. Pandanganku gelap dan aku agak sedikit pusing akibat penutup mata ini. Akhirnya mobil yang di kendarai Yudha berhenti juga. Yudha membuka pintu mobil lalu menuntunku ke arah yang tidak aku ketahui. Yang aku tahu, aku sempat masuk ke dalam lift dan naik entah sampai ke lantai berapa bersamanya.
Yudha membuka penutup mataku. Aku masih meraba-raba pandangan ini yang masih terlihat berkunang-kunang. Ternyata aku berada di sebuah ruangan yang masih kosong dan jauh dari khayalanku selama di perjalanan, yang sempat berkhayal Yudha akan membawaku ke sebuah restoran romantis yang berada di dalam gedung yang sangat tinggi seperti di film-film.
“Tempat apa ini, Yud?” tanyaku sambil memperhatikan keadaan di sekelilingku.
“Ini apartemen” jawab Yudha sambil tersenyum.
“apartemen siapa?” kok masih kosong, tanyaku lagi.
“Ini apartemen milik kita berdua, sayang”. Sebulan yang lalu aku telah membelinya jelas Yudha.
“Apa… punya kita?” teriakku tidak percaya.
“Mulai sekarang kita harus menabung, untuk mengisi perlengkapan apartemen ini” kata Yudha sambil menuntun langkahku ke arah balkon apartemen.
Angin semilir meniup rambutku yang tergerai, aku melihat pemandangan yang indah dari atas balkon. Hatiku masih bertanya-tanya, mengapa Yudha menguras tabungannya untuk membeli apartemen ini. Dia berhasil membuatku terkejut saat itu. Aku memandang Yudha yang masih asyik melihat pemandangan di sekelilingnya dari ketinggian ini. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku, sambil tersenyum manis ia pun berkata.
“Rene… mau kah kamu menikah dan hidup selamanya denganku?” ujarnya
“Yu… Yudha…” Kataku terbata-bata yang sangat terkejut mendengar lamarannya.
“Kita hidup berdua dan membesarkan anak-anak kita nanti di apartemen ini” aku ingin kamu yang akan menungguku sepulang dari kantor sampai aku pensiun nanti, candanya.
“Ka… kamu serius, Yud?” tanyaku.
Yudha tersenyum sambil menganggukan kepalanya. “Aku juga mau hidup dengan kamu Yud” bisikku. Yudha lalu memelukku dengan erat. Mulai hari itu kami berdua berjanji akan selalu bersama di saat senang, susah, gembira dan sedih hingga sampai rambut kami mulai memutih nanti.
Dua bulan kemudian, setelah Yudha melamarku secara pribadi. Di minggu sore ini, rumahku kedatangan rombongan keluarga besar Yudha yang secara resmi akan melamarku. Yudha datang mengenakan batik hitam, dia terlihat sangat tampan. Aku merasakan kebahagiaan yang amat mendalam pada hari itu. Ternyata Yudha lah yang akan menjadi jodoh dan pelabuhan terakhirku. Pikiranku pun melayang mengingat kejadian pertama kali aku bertemu dengannya di kampus. Yudha sering memperhatikanku diam-diam, ketika aku sedang bersama dengan teman-temanku. Aku suka bertemu dengannya di parkiran mobil setiap pagi. Kami berdua hanya saling menyapa jika bertemu, aku tidak begitu dekat sama Yudha, karena pada waktu itu aku berlainan jurusan dengannya di kampus. Aku mengenal Yudha saat mengikuti kegiatan ospek di Universitas kami. Aku satu kelompok dengannya, sewaktu para senior kami, menggojlok kami dengan sangat kejam.
Setelah lulus kuliah, aku bertemu kembali dengan Yudha pada saat kami berdua sedang melamar pekerjaan di kantor yang sama, yang berada di dalam gedung pencakar langit di tengah kota. Setelah diterima sebagai karyawan kantor itu, rasa solidaritas kami karena berasal dari almamater yang sama pun muncul. Aku dan Yudha menjadi sangat kompak dalam pekerjaan, lama-lama kami berdua semakin dekat. Aku dan Yudha saling jatuh cinta, kami berdua pun sepakat untuk berpacaran. Tiga bulan setelah aku dan Yudha berpacaran. Yudha keluar dari kantor ini, lalu ia pindah ke pekerjaan yang lain dan lebih bagus. Semenjak itulah Yudha menjadi orang yang sangat… sangat super sibuk. Untunglah itu bukan menjadi kendala dalam hubungan kami berdua. Hubungan aku dan Yudha pun berjalan sangat lancar sampai acara lamaran hari ini tiba.
Yudha memasang sebuah kalung berliontin batu zamrud di leherku. Semua mata yang berada di ruangan itu memandang kami, lalu mereka bertepuk tangan gembira setelah Yudha berhasil mengkaitkan kunci kalung itu agar tidak terlepas dari leherku. Tidak lama kemudian keluarga besar kami berdua memberikan selamat untukku dan Yudha, serta berharap rencana pernikahan kami akan berjalan dengan lancar sampai enam bulan kemudian.
Setelah acara lamaran itu, hubungan aku dan Yudha semakin kompak. Kami saling bahu-membahu menabung serta bekerja keras siang dan malam untuk mewujudkan impian pernikahan kami, juga membeli alat-alat rumah tangga untuk memenuhi ruangan di apartemen kami. Siang ini Yudha menjemputku di rumah, rencananya hari ini aku dan dia mau pergi membeli ranjang untuk diletakan di kamar. Aku memilih sebuah ranjang besi yang berkelambu putih. Hmmm… aku membayangkan, pasti suasana kamar kami nanti akan menjadi romantis. Aku memandang Yudha yang tampaknya setuju dengan ranjang pilihanku. Setelah membeli ranjang, aku dan Yudha bergotong ronyong mendekor apartemen mungil kami berdua, yang berada di lantai 16 itu hingga tengah malam.
Hari-hari cepat berlalu, tinggal sebulan lagi hari pernikahan kami tiba. Yudha masih begitu sibuk dengan pekerjaannya, bahkan ia mengambil pekerjaan di luar kota. Aku melirikan mata ke arah jam yang berada di tangan kiriku. Sudah pukul empat sore, hmmm… aku harus cepat-cepat keluar dari kantor untuk menjemput Yudha di bandara, kataku dalam hati. Setelah pekerjaanku selesai, aku langsung mengendarai mobilku menuju bandara. Setelah menunggu dua jam lamanya, akhirnya pesawat yang ditumpangi Yudha tiba. Aku pun segera menghampiri kekasih yang sangat aku cintai itu.
“Hai… Sayang” teriakku sambil malambaikan tangan ini.
“Hai… Re” kata Yudha sambil tersenyum dan memelukku dengan erat.
Aku dan Yudha berpelukan, Yudha mencium keningku. Aku tersenyum melihat perhatiaannya yang sangat tulus padaku. Tidak lama kemudian kami berdua berjalan meninggalkan bandara.
“Sayang… Kok kalau aku perhatikan, sekarang badan kamu agak kurusan deh?” kamu kecapaian ya? tanyaku sambil mengendarai mobil.
“Masa… sih” kata Yudha.
“Iyah…, aduh kamu jangan kecapain dong?” nanti kalau sakit bagaimana, sebentar lagi kita kan mau menikah ujarku manja sambil melirikan mata ini ke arah Yudha.
Yudha tersenyum mendengar ocehanku ini, lalu ia mengusap-ngusap rambutku.
“Kerjaan aku masih banyak banget, Re”. Aku lagi mengejar target nih, supaya pekerjaanku selesai, dan kita bisa berlibur setelah menikah nanti jelas Yudha.
“Memangnya kita mau berlibur kemana?” tanyaku gembira.
“Hmmm… Ada aja”. Rahasia dong, yang pasti kita bisa berdua-duaan sepanjang hari jawab Yudha sambil tertawa.
“Wahhh… kasih tau dong, aku kan jadi penasaran” rengekku
“Kamu maunya berlibur kemana?” Tanya Yudha yang semakin membuatku penasaran.
“Kalau kita di kasih cuti panjang sama kantor, aku kepingin pergi ke tempat yang berhawa sejuk dan dingin. Seperti Bromo” jawabku.
“Bromo…? wah… kok sama seperti aku sih, aku juga kepengen banget ke bromo, dan suka berkhayal akan mengahabiskan masa tua aku di sana bersama kamu”, jelas Yudha dengan antusias.
“Ayooo… Kita kesana” ajakku
“Oke… Kita akan pergi kesana nanti. Hmmm… seru juga tuh tempatnya” kata Yudha sambil tertawa.
Yaaa… Tuhan, sepertinya aku sangat tidak sabar menunggu hari pernikahan kami tiba. Pasti sangat menyenangkan pergi berlibur dengannya, setelah kami berdua sudah resmi menjadi suami istri yang sah. Aku juga tidak sabar untuk hidup berdua dengan Yudha, membina rumah tangga di apartemen kami yang mungil, membuat kopi dan sarapan di setiap pagi dan menunggu bayi kami yang mungil, hadir ke dunia untuk menyempurnakan hidup ini.
Undangan pernikahan kami sudah mulai tersebar, Aku pun sudah mulai sibuk dengan segala macam tetek-bengek yang akan dipersiapkan. Dari kebaya akad nikah dan kebaya resepsi, seragam keluarga, hingga hal yang terkecil yaitu souvenir, yang akan di bagikan untuk tamu yang datang. Hmmm… sambil menunggu harinya tiba, aku juga mempercantik diri dengan mengambil paket perawatan tubuh di salon langgananku. Hampir setiap malam aku dan Yudha mengobrol melalui telepon sebelum kami tidur, kami membahas hal-hal yang penting sampai obrolan-obrolan konyol yang membuat kami berdua tertawa terbahak-bahak.
Di sabtu sore ini aku dan Yudha berjanji untuk bertemu di sebuah taman kota. Aku melihat Yudha sudah datang terlebih dahulu, ia duduk menungguku di bangku taman. Yudha terlihat begitu tampan dan rapi. Aku menghampiri Yudha yang sedang tersenyum manis melihat kedatanganku. Sengaja kami bertemu di hari ini, karena mulai besok kami berdua sudah harus mengikuti acara pingitan selama seminggu, sebelum hari pernikahan kami di laksanakan, di minggu depan. Kami mengobrol, bercanda dan tertawa sepanjang sore, dan di malam harinya Yudha mengajakku menonton film yang sangat romantis. Sungguh senang hatiku di hari itu, Yudha tidak pernah melepaskan tangannya yang selalu menggenggam erat tanganku. Aku merasakan kenyamanan, kebahagiaan dan kedamaian yang sangat berarti di dalam hidup ini. Aku berdoa dalam hati dan berharap apa yang aku rasakan saat ini berdua Yudha akan abadi selamanya.
Yudha mengantarkanku sampai di rumah setelah kami berdua selesai menonton. Aku dan Yudha berdiri di taman, saling berhadapan dan berpegangan tangan di bawah cahaya terang bulan purnama. Kedua mata kami saling bertatapan.
“Kamu sangat cantik sekali malam ini, Re?” bisik Yudha.
Aku tersenyum malu mendengar pujiannya.
“Terima kasih ya, kamu sudah menemani aku di hari ini”. Aku merasa sangat beruntung mempunyai calon istri seperti kamu. Kamu adalah segalanya untuk aku, Re bisik Yudha lagi sambil memelukku dengan erat.
“Aku juga sangat beruntung bisa menemukan kamu di dalam hidupku, Yud. Oiya… aku punya sesuatu nih untuk kamu”, kataku sambil membuka tas ku.
“Wahhh… Apa tuh?” Tanya Yudha dengan mata yang berbinar-binar.
Aku mengambil selembar kertas.
“Kemarin malam aku tidak bisa tidur, terus aku mencoba menuliskan sesuatu untuk kamu. Hmmm kamu mau mendengarnya?” Tanyaku sambil tersenyum.
“Mau… mau!” teriak Yudha antusias.
“Ini bukan puisi, tapi ini adalah tentang perasaanku padamu sayang”, jelasku.
Yudha menatap tajam mata ku, aku pun mulai membacakan sebuah tulisan yang berada di dalam genggaman tangan ini.
Lembayung datang menyapa malam.
Senja di ujung hari, terukir dengan jelas.
Melukiskan suatu pengharapan tentang kedamaian.
Tak kala mata menanti kesejukan hati.
Lelaki itu telah datang tepat pada waktunya.
Sang penyelamat hati yang hampir membeku.
Senyumannya mencerminkan ketulusan, pengharapan dan kegembiraan.
Mengajarkan tentang arti kedamaian.
Menggapai tangan ini, mengajak melangkah menuju masa depan.
Mencintainya adalah anugerah.
Terima kasih Tuhan, Kau telah mempertemukan pasangan hidupku.
Cinta yang sulit di terka, tapi menjadi nyata karenamu.
Aku melihat Yudha meneteskan airmatanya, ia tersenyum lalu memelukku sekali lagi dengan erat.
“Indah… sekali, Re” terima kasih yaa bisik Yudha.
“Tulisan seseorang yang masih amatiran” candaku sambil tertawa.
“Boleh aku minta, kertasnya” pinta Yudha.
“Ini buat kamu” kataku sambil memberikan selembar kertas putih itu.
“Besok kita sudah mulai berpisah ya, jaga kesehatan kamu oke, Minggu depan kita bertemu lagi” kata Yudha.
“Iya… Aku juga sudah tidak sabar menjadi, Nyonya Yudha” Candaku, sambil memandangi kekasihku yang malam itu terlihat tampan sekali.
Yudha tersenyum, lalu ia mencium bibir ini dengan lembut dan mesra.
“Aku, pulang dulu ya sayang. Hmmm… aku sayang banget sama kamu” bisik Yudha.
“Daaggh…, hati-hati di jalan yaa. Aku juga cinta dan sayang sama kamu”, teriakku keras.
Yudha tertawa mendengar perkataanku, lalu ia berjalan sambil melambaikan tangannya dan masuk ke dalam mobil. Setelah mobil yang di kendarai Yudha menghilang dari pandanganku. Aku masuk ke dalam kamar. Hmmm… belum lama Yudha pergi meninggalkanku, kenapa aku sudah mulai merindukannya? Pikirku, sambil merebahkan badan dan memejamkan mata ini di atas ranjang. Malam ini adalah malam terakhir aku berkencan dengan dia, dan menjadi malam yang paling indah dalam hidupku sebelum hari pernikahan kami tiba.
Waahhh… kenapa saat ini aku rindu sekali dengan Yudha? Penat melihat laporan keuangan yang aku kerjakan, aku pun menutup laptop yang berada di atas meja kantorku. Aku menatap sebuah bingkai foto, lalu memandangi fotoku bersama Yudha sewaktu berlibur di pantai. Mengapa sejak tadi pagi, aku selalu gelisah dan tidak bisa konsentrasi dengan pekerjaanku. Apakah ini akibat terlalu grogi memikirkan acara pernikahanku di akhir pekan nanti. Mataku masih saja memandangi foto Yudha, rasa rinduku semakin mendalam padanya. Tiba-tiba saja ponselku berbunyi, aku tertawa gembira begitu melihat nama Yudha yang muncul di layar ponsel. Huaaahhh Yudha meneleponku? Aku pun buru-buru menyapanya.
“Sayang… pasti kamu sekarang juga lagi kangen sama aku ya?” teriakku sambil tertawa.
“Halo… Ini Rene ya?” Tanya seseorang.
“Iyah… benar, aku Rene kamu siapa yaa?” tanyaku bingung ketika mendengar bukan suara Yudha yang meneleponku.
“Aku Rivan, teman sekantornya Yudha” katanya memperkenalkan diri.
“Iya…, ada apa yaa Van?” tanyaku yang masih bingung.
“Aku mau memberitahu, hmmm.. Yudha tadi mendadak pingsan dan tidak sadarkan diri”. Sekarang dia dalam perjalanan ke rumah sakit, jelas Rivan.
“Apa…” teriakku yang terkejut setengah mati.
Aku buru-buru keluar dari kantor, dan mengendarai mobilku secepat mungkin menuju rumah sakit tempat Yudha dilarikan. Ya Tuhan, ada apa dengan kekasihku. Aku berdoa dan berharap tidak terjadi apa-apa dengan Yudha, mungkin Yudha pingsan karena kelelahan bekerja di kantor, pikirku dalam hati.
Aku berlari menyelusuri lorong yang sangat panjang di rumah sakit. Begitu sampai di ruang unit gawat darurat, aku melihat Tante Ana, Mamanya Yudha sedang duduk dan tertunduk lesu di ruang tunggu.
“Tante, bagaimana dengan keadaan Yudha?” Tanya ku sambil duduk di sampingnya.
Tante Ana memandangiku, lalu ia memelukku dengan erat sambil menangis sesegukan. Melihat keadaan Tante Ana, aku menjadi tambah bingung dan panik memikirkan kesehatan Yudha, yang sedang di tangani oleh beberapa dokter di ruang observarsi.
Tidak lama kemudian seorang dokter keluar dari ruangan tersebut, lalu ia berjalan menghampiriku dan Tante Ana.
“Maaf…, apakah kalian saudara dari bapak Yudha?” Tanya Dokter berkacamata itu.
“Iyah Dok, saya calon istrinya, dan Ibu ini orangtuanya” jawabku.
“Kalau begitu sebaiknya kalian ikut ke ruangan saya” kata Dokter itu lagi.
Aku dan Tante Ana berjalan mengikuti langkah Dokter menuju ruang kerjanya. Dokter itu mempersilahkan aku dan Tante Ana duduk di hadapannya. Detak jantungku pun berdetak sangat kencang, ketika menatap Dokter.
“Bapak Yudha mengalami penurunan kesadaran, akibat virus yang masuk ke dalam otaknya, ini bisa terjadi karena ia kecapaian dan daya tahan tubuhnya tidak stabil, akhirnya virus itu dapat masuk, bisa melalui udara atau makanan” kata Dokter.
“Maksud.. Dokter?” tanyaku.
“Bapak Yudha terkena virus yang dapat menyerang otak sarafnya. Akibat itu kesadarannya akan melemah dan sangat berbahaya jika sampai menurun. Maka dari itu Bapak Yudha harus segera di tangani serius”, jelas Dokter.
“Apakah… bisa sembuh Dok?” tanyaku terbata-bata.
“Kita usahakan yaa Bu. Mudah-mudahan Bapak Yudha kuat dan dapat melewati masa kritisnya”, jawab Dokter.
Dengan langkah lunglai, aku dan Tante Ana keluar dari ruang Dokter. Tante Ana menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan Dokter. Apa yang terjadi dengan Yudha adalah musibah besar di dalam hidupku. Ya Tuhan, mengapa engkau memberi cobaan yang berat padaku. Minggu depan aku akan menikah dengannya. Airmataku menetes ketika melihat Yudha tidak berdaya di atas tempat tidur. Wajahnya pucat, matanya terpejam. Selang kecil, oksigen dan berbagai macam peralatan Dokter di pasangkan di tubuhnya. Aku menggenggam tangannya yang dingin. Aku ingin berada terus di sampingnya. Aku ingin sewaktu Yudha membuka matanya, orang yang dia lihat adalah aku.
Saat ini aku pasrah, aku tidak memikirkan lagi rencana pernikahanku yang sudah dipersiapkan dengan sangat matang itu. Yang ada di pikiranku adalah Yudha, aku ingin kekasihku itu tersadar dari tidurnya. Ia sembuh dan bisa bersamaku lagi.
Dua hari sudah berlalu, Yudha belum tersadar juga. Akhirnya dokter menyatakan Yudha koma, karena daya tubuh dan kesadarannya terus menurun. Ya Tuhan, aku tidak tega melihat keadaan Yudha yang begitu pucat dan tidak berdaya, matanya terus saja terpejam.
“Yudha… kamu harus kuat sayang, ayo buka mata kamu, kamu harus sembuh? Dua hari lagi kita akan menikah. Aku ada disini menunggumu” bisikku sambil menatapnya.
Tidak terasa airmataku menetes dengan deras, aku tidak sanggup lagi memendung rasa sedih yang aku alami di malam itu.
Ketika aku sedang memandanginya, tiba-tiba aku merasakan jari tangan Yudha bergerak sewaktu aku menggenggamnya. Aku terkejut, lalu aku menatap wajahnya dengan jelas. Yudha meneteskan airmata, tetapi matanya masih terpejam rapat. Aku yakin Yudha bisa mendengar bisikanku dan memberi respon yang baik. Aku menggenggam tangannya erat-erat, aku ingin ia tahu, kalau tidak pernah sedetik pun aku pergi meninggalkannya.
“Aku selalu berada di sampingmu, sayang” bisikku lagi untuk meyakinkan dan membuatnya tenang.
Keesokan harinya kesehatan Yudha semakin menurun, Yudha ngedorop. Beberapa dokter menanganinya untuk membuat tubuhnya stabil. Aku berdiri di pojokan ruangan serba putih itu. Seluruh tubuh ini gemetar melihat keadaan Yudha. Seorang dokter menyuruh aku dan keluarga besar Yudha untuk berkumpul. Dokter meminta kami pasrah dan mengiklaskan jika hal yang terburuk terjadi dengan Yudha. Aku menangis tersedu-sedu, aku memeluk tubuh Yudha yang lemah tidak berdaya.
“Aku merelakan kamu sayang. Pergilah jika itu membuatmu tenang? Aku ikhlas” bisikku sambil sesegukan, menahan rasa sedih yang teramat dalam. Aku tidak tega melihat Yudha tersiksa seperti ini.
Sesaat setelah aku membisikannya, tidak lama kemudian detak jantung Yudha berhenti perlahan-lahan. Yudha meninggal di dalam pelukanku, ia meninggalkanku selamanya di malam sebelum hari pernikahan kami berdua.
Janur kuning yang seharusnya terpasang di hari ini, telah berganti dengan bendera kuning. Orang-orang yang seharusnya datang bergembira pada hari itu, menjadi bersedih dan berkabung. Aku masih duduk setia di samping jenazah kekasihku. Aku ingin lebih lama menatap wajahnya. Apakah ini yang di namakan takdir, ya Tuhan. Takdir kami berdua yang berakhir dengan perpisahan.
Setelah Yudha dimakamkan, aku pergi mengunjungi apartemen kami berdua. Airmata ini jatuh kembali ketika aku melihat ruangan yang sudah tertata rapih. Aku membuka pintu kamar kami, dengan langkah lunglai aku berjalan menuju ranjang. Aku merebahkan tubuh ini, pikiranku masih terbanyang-bayang tentang sebuah pernikahan yang terganti dengan kepergian Yudha. Karena terlalu lelah, aku pun tertidur di ranjang kami berdua.
“Sayang…, Hi ayo bangun?”. Kamu mau tidur sampai jam berapa bisik seseorang persis di telingaku.
Itu suara Yudha. Aku tersadar dari tidurku dan terhentak kaget. Aku melihat Yudha sedang duduk di pinggir ranjang dan tersenyum padaku. Apakah aku sedang bermimpi Tuhan, aku menangis melihat Yudha di hadapanku.
“Kenapa kamu menangis sayang, kamu sakit?” tanyanya sambil mengusap airmataku.
“Ka… kamu, masih hidup?” tanyaku terbata-bata yang merasakan sentuhan tangannya.
“Sayang… Kamu ngelindur ya? aku belum mati? Ayo bangun” teriak Yudha sambil tertawa.
Apa… Aku langsung beranjak dari ranjangku dan melihat keadaan di sekelilingku. Hmmm… Ini bukan di apartemen, tapi aku berada di kamar tidurku sendiri. Aku lalu memandang Yudha yang masih terlihat bingung dengan kelakuanku yang masih seperti orang linglung.
“Sayang… Kamu kenapa?” Tanya Yudha panik.
“Ini… Ini cuma mimpi? ternyata kamu masih hidup” teriakku yang masih tidak percaya.
Aku menghampiri Yudha lalu memeluknya dengan sangat erat. Terima kasih Tuhan, ternyata kejadian yang aku alami cuma mimpi, kataku dalam hati yang bisa bernafas dengan lega.
“Sayang… Aku tidak bisa napas” kata Yudha sambil tertawa.
“Maaf… maaf” kataku sambil tersenyum.
“Memangnya semalam kamu tidur jam berapa sih? kok sampai bisa mimpi seperti itu”, Tanya Yudha ketika aku menceritakan tentang mimpi yang aku alami.
Aku tertawa, lalu memeluknya sekali lagi.
“Aku… enggak mau kehilangan kamu lagi, Yud” bisikku.
“Aku ada di sini kok, Re” jawab Yudha.
“Ehhh… Kita kan sedang di pingit?” kenapa kamu ke rumahku? Tanyaku bingung.
“Aku mau minta kunci apartemen yang kamu pegang. Aku mau pergi kesana, ada yang harus dibetulkan sebelum kita pindah kesana” jelas Yudha.
“Aku ikut, aku enggak mau di pingit, aku enggak mau pisah lagi dengan kamu”, rengekku.
“Lho… nanti apa kata orangtua kita, sayang?” Tanya Yudha.
“Bodo…, pokoknya aku maunya sama kamu terus!” rengekku sekali lagi.
Aku melihat Yudha tertawa terbahak-bahak melihat kelakuanku. Sumpah aku masih trauma bila mengingat mimpi yang sangat sedih itu. Pernahkah kamu bermimpi, kehilangan orang yang sangat kamu sayangi dan cintai. Rasanya sangat sedih dan menyesakkan dada. Akhirnya acara pingitan yang di rencanakan orang tuaku pun gagal total. Seminggu kemudian acara pernikahan kami berlangsung. Aku merasakan kebahagiaan yang sesunggunya, dan ini bukan mimpi yang hanya sesaat. Kami berdua telah resmi menjadi suami istri, dan siap untuk melanjutkan kehidupan kami yang baru.
Kini aku dan Yudha berdua, berdiri menunggu matahari terbit dari balik gunung Bromo. Kami berpegangan tangan dengan erat. Lelaki itu benar-benar datang tepat pada waktunya. Bagaikan sinar mentari yang akan menyinari kehidupanku. Aku berharap cinta kami berdua benar-benar akan abadi untuk selamanya. Dan hanya takdir kematian yang akan memisahkan kami berdua.
(tamat)
Cerpen Karangan: Ayu Soesman


Tidak ada komentar:

Posting Komentar